Priangan
Saini K.M.
Di sini tinggal bangsa petani Hati berakar di dalam bumi Sedang kali kehidupan Berhulu di kubur leluhur.
Di sini lahir bangsa musafir Berkawan Lembah gunungmu Jalan kenangan bersilang Menjangkau dusun dan kota.
Di sini hidup bangsa penyair Kekasih bulan purnama Kecapi malam cendana berukir Semerbak lagu Cianjuran.
1960
Sumber: Nyanyian Tanah Air
(Grasindo, 2000)
Soneta Laut
Subagio Sastrowardoyo
Laut, di mana mata airmu
supaya aku bisa kembali ke asalmu Laut, di mana mata anginmu supaya aku bisa mengikuti arusmu
Jika kehadiran tak membekas di pasir sedang keharuan begitu dalam mengukir
Jika alamat tak menjamin datangnya surat ditunggu sedang dari jauh terdengar sayup kepak-kepak rindu
Aku ingin sendiri dengan laut
di mana kulontarkan cinta kelam Tenggelam dalam gelombang surut
Sumber: Dan Kematian Makin Akrab
(Grasindo, 1995)
Di Musim yang Lain, Aku Kembali
Ulfatin Ch.
Setahun kujelajahi hutan ini sepi belaka, tanpa penghuni
Lalu kubangun rumah dekat sungai agar lebih mudah kukenali mata angin dan aku tenang memandang bulan Sesekali lewat angin
aku meniupkan tembang-tembang cinta hingga aku tidur, dan ketika bangun sudah kudapatkan mekar mawarku.
Embun itu jatuh dari kelopak mawar dan aku pun berangkat mendekat senja sebab tak bisa kuharap lagi bulan
di akhir musim ini
atau pun mata hari siap tenggelam
Dan ketika aku kembali di musim yang lain kudapatkan hutan itu telah ramai
menjadi kota
dan di antara dataran yang dibelah sungai telah terbangun jembatan
aku tak lupa rumahku, tapi di mana 1993
Sumber: Antologi Puisi Kota Terbayang
(Taman Budaya Yogyakarta, 2017)
Daun
Soni Farid Maulana
Siapa yang tak hanyut
oleh guguran daun: ketika angin mempermainkannya di udara terbuka ketika lembar demi lembar cahaya matahari
menyentuh miring dengan amat lembutnya siapa yang tak hanyut oleh guguran daun ketika maut begitu perkasa
mencabut usia hingga akarnya, ketika matahari
menarik tirai senja, ketika keheningan menyungkup batu-batu di dada. Siapa yang tak hanyut oleh guguran daun: ketika
lobang kuburan ditutup perlahan, ketika doa-doa dipanjatkan dengan suara tersekat ketika kutahu pasti kau tak di sampingku
1980
Sumber: Antologi Puisi Indonesia
(Yayasan Lontar, 2017)
Pesan Kakek
Felix K. Nesi
Datanglah di musim penghujan, Emanuel Sebelum ibu membakar almanak dan Ayah mengerami kalong
Padang hijau berembun Sapi tambun menari
Kunang-kunang menyalakan mimpi Bagi laki-laki yang mencintai malam
Orang-orang bercerita tentang Pesta dansa malam natal—
Kau boleh membakar singkongmu sendiri Kau boleh percaya pada cita-cita atau Apapun yang tidak diajarkan
Di sekolah
Ia menandai kalender Dengan lagu dan kesabaran Tetapi seperti hujan
Tak ada kakek di hari natal.
Malang, 2016
Sumber: Kita Pernah Saling Mencinta
(Gramedia Pustaka Utama, 2021)
Lagu Orang Bukit
Imam Budhi Santosa
Menyandarkan bukit pada langit doamu diikuti segala rumput pori-pori tanah
dan kabut. Sepertinya aku menemukan pelangi
dari setiap kelopak bunga dan mata air
di setiap dada. Kepada Semak kepada hutan menyebut saudara rumahku juga rumahmu
kita bernapas dan senapas
mencintai bumi dari waktu ke waktu
1980
Sumber: Matahari-Matahari Kecil
(Interlude, 2023)
Pulang ke Rahim Bumi
Oka Rusmini
aku tak mau tubuhku disentuh tanah yang lain kecuali warna tanahmu
matahari tak mampu merobek keputusan yang semakin menetes membasuh jiwa coba mengajakku pulang
dari mana harus mulai bicara melalui daun-daun
atau menunggu matahari jatuh memberi warna pada rumput
biar tubuh terbakar
aku tak mau menyentuhmu tidak juga mengenalmu
aku tahu kau selalu ada melukis wajahku
mengajari menyulam waktu
untuk paham arti perjalanan menjadi manusia
aku ingin rasaku mati
setiap menyentuh jengkal tanahmu 1990
Sumber: Warna Kita
(Grasindo, 2007)
Sabana
Umbu Landu Paranggi
memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi di sini hidupku
sebuah gitar tua seorang lelaki berkuda
sabana tandus mainkan laguku harum napas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga kemarau yang kurindu dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta hunjam aku ke bibir cakrawala
Sumber: “Persada Studi Klub dan Sajak-Sajak Presiden Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra: Himpunan Esai dan Kritik, Korrie Layun Rampan
(Yayasan Arus Jakarta, 1984)
Lereng Merapi
Sitor Situmorang
Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini Aku akan rindu balik pada semua ini Sunyi yang kutakuti sekarang
Rona lereng gunung menguap Pada cerita cemara berdesir Sedu cinta penyair
Rindu pada elusan mimpi Pencipta candi Prambanan Mengalun kemari dan dataran…
Dan sekarang aku mengerti Juga di sunyi gunung
Jauh dari ombak menggulung
Dalam hati manusia tersendiri Ombak lautan rindu
Semakin nyaring menderu…
Sumber: Kumpulan Sajak 1948—1979
(Komunitas Bambu, 2006)
Sajak Matahari
W.S. Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku, Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin ! Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi Rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia!
Yogya, 5 Maret 1976
Sumber: Potret Pembangunan dalam Puisi
(Lembaga Studi Pembangunan Jakarta, 1980)