Memaknai Kata ‘Maliyu’ dan ‘Marena’ dalam Menjaga Alam Raya
Adinda Nabila Al Zahra
Upacara ritual “Tale Ngihit Pamau” sekarang sudah jarang dijumpai dan hampir dikatakan sudah ditinggalkan oleh masyarakat Kerinci. Tradisi ini sangat kaya akan nilai-nilai positif dalam menjaga alam dan lingkungan, serta sarat akan pesan yang secara memorial bisa ditransmisikan ke generasi selanjutnya
Tale Ngihit Pamau yaitu nyanyian sewaktu mengambil kayu sebagai bahan baku rumah dari dalam hutan. Sehari sebelum dilaksanakan gotong royong, orang pandai (dukun/pawang) terlebih dahulu datang ke tempat kayu yang akan ditebang. Hal ini bertujuan untuk mengusir penghuni kayu. Keesokan harinya para laki-laki dan perempuan pun datang untuk bergotong-royong dan bertale. Talae, batalae berarti bernyanyi. Tale berasal dari kata “tala” (Sansekerta) yang berarti ukuran bunyi, tinggi rendahnya nada. Nada yang membentuk kesatuan vokal nampaknya sudah sangat lama dikenal oleh suku Kerinci. Pendapat lain mengatakan “Tale” berasal dari kata Tahlil (Arab) berarti nyanyian pujian kepada Tuhan, dalam hal ini terserah mana yang memenuhi ketentuan logika.
Pada ritual tale ngihit pamau sebelum dilaksanakan dipersiapkan peralatan dan jekat (sajian) yang terdiri dari bunga lima macam, bunga tujuh macam, bunga sembilan macam, pisang dingin, pisang batu, pisang raja, pisang serai, benang berjalin tiga warna. benang berjalin lima warna, benang berjalin tujuh warna, metas padi biasa (metas : ikatan padi yang akan dituai), beras kunyit (beras kuning), ayam, telur ayam, lemang putih (ketan putih yang dimasak dalam ruas bambu), lemang hitam, manik yang dibuat bentuk tangga, bunga cina, kemenyan putih, rokok nipah, pinang dibelah empat (delapan x lima buah), kapur sirih, tembakau dua kepal. Sesajian yang sudah siap diletakkan di atas rak-rak undakan dilatarbelakangi oleh layar hitam yang digantungi manik-manik dan keris. Semua sajian disusun dalam mangkuk-mangkuk porselin putih.
Salih (dukun) bersimpuh menghadap ke arah sajian sambil membaca mantra yang berisi pujian terhadap roh-roh nenek moyang serta menyatakan maksud diadakannya ngihit pamau tersebut. Sambil membaca mantra, guru-guru tersebut menabur beras kuning ke arah sajian yang ada. Kemudian Salih (dukun) yang memimpin upacara, dengan mantra sambil bertale dan diiringi irama dari gong dan rebana yang diikuti oleh semua yang hadir. Salih menceritakan tentang kejadian alam, manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dan bagaimana Tuhan mengangkat derajat umat manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya di atas muka bumi ini. Kemudian Salih menceritakan pula bagaimana naik ke pintu “Maliyu”, dalam mantra inilah disebut. Salih juga memberi nasehat untuk menjaga ciptaan Tuhan seperti hutan dan isinya.
Adanya kepercayaan kuno Kerinci bahwa alam kehidupan terdiri atas dua bagian yaitu, dunia atas yang dinamai “Maliyu” dan dunia bawah dinamai “Marena”. Keduanya merupakan sisi terpisah, dunia atas sering juga disebut “Langaik” atau langit, dan dunia bawah disebut “Gumui” atau bumi. Dunia atas tempat kehidupan roh-roh nenek moyang, mambang, peri dan dewa-dewa. Dunia bawah tempat kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan–tumbuhan.
Pada prosesi ngihit pamau biasanya ada yang mengalami kerasukan. Ada yang bertingkah seperti harimau atau bersilat. Biasanya yang mengalami kerasukan adalah mereka yang memiliki turunan langsung dengan arwah nenek moyang yang disebut oleh Salih dalam mantranya. Bagi yang kerasukan, Salih menanyakan kepada roh-roh nenek moyang yang masuk ke tubuh mereka, apa salah masyarakat selama ini dan bagaimana untuk memperbaikinya. Biasanya pada waktu inilah roh-roh yang masuk ke tubuh mereka mengatakan sebabnya, seperti ada anggota masyarakat yang menebang pohon di hutan padahal pohon itu tempat bersemayam roh-roh nenek moyang, atau ada yang berburu dan membunuh binatang di hutan sehingga menyebabkan murkanya roh-roh tadi.
Kemudian Salih menanyakan pohon mana yang bisa ditebang untuk menjadi tiang utama rumah, kemudian orang yang kerasukan tersebut menunjuk ke pohon yang bisa ditebang. Biasanya pohon yang ditunjukkan sudah berusia tua dengan diameter yang lebar. Setelah menebang pohon tersebut, dalam tradisi ngihit pamau, mereka wajib menanam kembali dan mengganti pohon yang ditebang. Kalau tidak, rumah yang akan dibangun tidak akan pernah jadi atau akan memakan korban. Nilai kearifan dalam tradisi ini adalah menjaga keseimbangan dan pelestarian alam dengan menanam kembali setiap pohon yang ditebang.
Setelah kayu ditebang, kemudian ditarik dan dikerjakan secara bergotong royong sambil bertale. Tiang rumah ini dibentuk bersisi delapan, mengandung makna delapan penjuru (Tambo Kerinci: tujuh tingkat selapan penjuru), undang-undang pucuk larang yang delapan, negeri yang empat adat yang empat. Rumah orang Kerinci yang terdiri dari tangga, palasa, ruang dalam yang berfungsi sebagai tempat berunding tengganai (dunsanak ibu) atau disebut ‘unding umah dalea’. Untuk kegiatan memasak atau dapur dalam rumah tradisional terdapat pada ruang belakang, pinggir sudut sebelah timur. Pada rumah tradisional tidak mempunyai bangunan dapur tersendiri, sedangkan letak dapur ada juga pada pada sisi barat ruang belakang, jadi bukan berupa ketentuan resmi letaknya di sebelah barat.
Adanya ungkapan Kerinci yang mencerminkan bagian yang terpisah dari rumah, yaitu kayu gedeang tempek basanda – imbun daeu tempek batedeuh (pohon besar tempat bersandar – rindang daun tempat berteduh). Pohon besar beserta akarnya merupakan konstruksi tiang-tiang rumah yang menyangga kehidupan. Sedang rimbun daun dan ranting-ranting merupakan bagian atas rumah sebagai tempat berteduh. Jadi bagian tiang-tiang rumah merupakan unsur yang terpisah, dari tiang-tiang penyangga balok (alang) bubungan bagian atas. Hal ini merupakan warisan filosofis dari nenek moyang Kerinci, bahwa alam diciptakan oleh Tuhan sebagai dua bagian yang terpisah. Seperti siang-malam, bumi- langit, laki-laki dan perempuan, maliyu–marena, hidup mati, dan seterusnya.
Untuk memperbaiki kerusakan alam ini butuh waktu bertahun-tahun dan dana yang sangat besar. Demikian halnya mengembalikan tradisi serta pola pikir masyarakat dengan nilai-nilai kearifan lokalnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun seperti maliyu dan marena “kehidupan ada datang dan pergi, ada lahir, ada kematian”. Hidup yang sebentar ini mesti punya nilai, punya arti, punya makna, untuk itulah kita dilahirkan. Meneruskan dan merawat nilai nilai kebaikan Alam Raya yang telah bermurah hati memberi kita kesempatan untuk menikmatinya.