Gasing Terakhir
Nafri Dwi Boy
Hari itu aku sedang bermain gawai bersama Ucok dan Rafli di teras rumah. Tiba-tiba saja Ucok memandang aneh ke arahku.
“Kau tahu kisah kakek penjual gasing?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
Ucok dan Rafli merapat, memperhatikan kondisi sekitar, lalu Ucok berbisik.
“Katanya ada seorang kakek penjual gasing yang berjalan dari desa ke desa. Wajahnya seram, tidak pernah bicara pada siapapun. Tidak seorangpun mau membeli gasingnya.”
“Kasihan kakek itu, aku maulah membelinya”
“Kau sudah gila, Salim? Bagaimana kalau Kakek itu menculikmu?”
“Ah, mana mungkin. Kata Emak kita harus saling membantu.”
“Benar, Salim. Tapi kalau yang dikatakan Ucok benar, aku jadi ragu membantu Kakek itu.”
“Tidak boleh begitu, kita harus membantu siapapun yang lagi kesulitan.”
Mendengar keributan di teras rumah, Emak keluar lalu mengajak makan siang, memutuskan percakapan kami. Ucok dan Rafli pulang. Di meja makan, Emak memberikan sepiring nasi dengan lauk tempoyak ikan patin.
“Kenapa wajahmu kusut, Salim?” tanya Bapak.
“Lagi kesal, Pak.”
“Kenapa?”
“Bapak pernah melihat kakek penjual gasing lewat di depan rumah?”
“Belum.”
“Aku mau membeli gasingnya sekadar untuk membantu.”
“Baguslah, lalu kenapa?”
“Tapi kata Ucok dan Rafli, kakek itu mau menculikku.”
Emak mengelus rambutku, “Saling membantu, tapi juga harus berhati-hati. Boleh membantu kakek itu, tapi jangan sampai membahayakan dirimu, Nak. Tidak usah babalah lagi sama Ucok dan Rafli, mereka hanya mengingatkan.”
Aku diam. Dengan cemberut kuhabiskan makan siang. Tiba-tiba bel berbunyi. Aku mengintip dari jendela. Kakek penjual gasing baru saja lewat.
Kubuka pintu, tapi tidak ada orang. Ketika memeriksa ke samping rumah, tampak kakek berwajah seram menatapku. Aku tidak bergerak, keinginan untuk membeli gasing mendadak hilang. Aku mengedipkan mata, kakek itu hilang seketika. Sekujur tubuhku merinding. Aku masuk dan mengunci pintu.
Kembali ke kamar, aku melihat ke luar jendela. Kakek itu tidak ada lagi. Kupejamkan mata untuk menenangkan diri. Jantung berdetak kencang, pelan-pelan kubuka mata. Kakek muncul di cermin. Aku mengusap mata tapi Kakek itu masih tetap ada. Kakek tersenyum, aku ketakutan.
“Kau mau membeli gasingku?”
Aku menggeleng.
“Kenapa tidak mau? Katanya mau membantu.”
“Aku tidak mau!”
“Ayo bantu aku, Nak. Bertahun-tahun aku menjual gasing-gasing ini, bahkan hingga berdebu tidak seorang pun yang mau membelinya. Aku tahu permainan ini sudah tergerus zaman, tapi setidaknya kau bisa membantuku untuk makan.”
“Aku tidak mau, Kek!”
“Belilah, Nak. Kau akan bahagia bermain bersama teman-temanmu.”
“Aku sudah bahagia, kami selalu bermain gawai.”
“Gawai? Ya, aku melihatnya dari desa ke desa. Aku paham selera remaja sekarang. Tapi aku hanya ingin makan, aku tidak bisa menjual gawai. Belilah, Nak. Bayarlah semampumu, aku tidak meminta banyak. Jika kau tidak suka, buang saja gasingnya setelah dibeli, atau berikan saja ke Bapakmu. Aku yakin dia suka.”
Belum sempat aku menjawab, Kakek berusaha menarik ke dalam cermin. Tangannya menggapai pipi, aku berteriak kencang. Kakiku terpaku di tempat. Kakek tertawa, aku memejamkan mata. Pintu kamar terbuka, Emak dan Bapak berlarian masuk.
“Kenapa, Nak?”
Aku memeluk Emak erat-erat sembari menunjuk ke cermin.
“Kenapa dengan cermin itu?”
Kakek sudah pergi dari sana. Aku menatap bingung. Bapak menutup jendela yang berdecit tertiup angin.
“Tidak ada, Mak.”
Malamnya aku bermimpi. Aku berjalan menenteng senter menyusuri jalanan gelap, sampai di sebuah rumah kosong. Aku tidak tahu kenapa bisa sampai di sana. Rumah itu membuatku takut. Sarang laba-laba menghias langit-langit rumah. Aku memanggil Emak dan Bapak, tapi tidak ada jawaban.
Suara burung hantu terdengar keras, kelelawar beterbangan. Aku lari menuju dapur, bersembunyi di bawah meja. Sebuah tangan menggapaiku, pelan-pelan aku keluar dan menyentuh tangan itu. Ternyata kakek penjual gasing, tapi wajahnya bersahabat. Dari saku baju dia mengambil gawai lalu diletakkannya ke genggamanku. Aku tersenyum, dia balas tersenyum. Ketika kulepas genggaman, dari gawai keluar cacing yang mengerikan.
Aku melempar gawai, tapi gawai itu lengket di telapak tangan. Dari layarnya kulihat wajahku ketika berbicara kasar kepada Emak dan Bapak. Aku memejamkan mata, tapi tetap kulihat diriku ketika meninggalkan salat, serta carutan yang menggema lantang ketika bermain gawai bersama teman-temanku.
Airmataku mengalir. Kakek memelukku. Aku mendekapnya erat, tapi seketika Kakek menghilang. Aku terbangun. Kumandang azan subuh memanggil. Kutunaikan kewajiban. airmataku berlinang di atas sajadah.
Mimpi itu tak berani kuceritakan kepada kepada Emak. Tapi tak urung sikap diamku agaknya membuat Emak khawatir. Sampai seminggu kemudian aku masih belum bisa bercerita.
Beberapa hari berlalu, suatu hari kakek penjual gasing lewat di depan rumah. Wajah kakek itu sangat bahagia meski sekujur tubuhnya renta.
“Mau beli gasing, Nak?”
“Mau, Kek. Tapi ajari cara memainkannya.”
Kakek tersenyum. Dia melilitkan tali ke gasing. Sekuat tenaga Kakek melempar gasing ke tanah. Mataku tidak berpaling melihat putaran gasing. Aku melihat putaran hidup di sana, putaran yang tidak tahu kapan akan berhenti.
“Terima kasih, Kek.”
Sepeninggal Kakek, kulihat Ucok dan Rafli bermain gawai di bangku taman. Kuhampiri mereka.
“Kalian mau main?” tanyaku.
“Main apa?”
“Gasing!”
“Tidak, kami mau main gawai saja!”
Aku melilitkan tali di gasing, kemudian melempar ke tanah. Kunikmati saat-saat menyenangkan bermain gasing, meski seorang diri di tengah keramaian yang terasa sepi.***
Tentang Penulis
Nafri Dwi Boy. Lahir di Mekar Jaya, 20 November 1998. Saat ini kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Tergabung dalam Komunitas Gemulun Indonesia dan Gerakan Sastra Pinggiran. Beberapa tulisannya pernah terbit di berbagai media massa dan antologi Bersama. Buku yang pernah ditulis berjudul Sudikah Dirimu Setia Menantiku, Nina Bobo, Dung-Tak, T-Rex, Badut, Kitab Dosa, Tapa Malenggang Seri 1, Tapa Malenggang Seri 2, dan Naskah Drama Korupsi.